BIOGRAFI JENDRAL SOEHARTO
( Masa Kecil )
Presiden
Soeharto, Presiden ke-2 RI, lahir pada tanggl 8 Juni 1921, di desa
Kemusuk daerah Argomulyo Godean, sebelah Barat Yogyakarta. Merupakan
putra ketiga dari istri pertama (Nyonya Sukirah) dari Bapak
Kartosudiro, seorang ulu-ulu atau petugas pengatur air di desa
Kemusuk. Masa kecilnya dihabiskan sebagaimana layaknya anak-anak
pedesaan Jawa. Sebagai anak desa, ia tumbuh tidak dalam suasana
kemegahan sebagaimana kalangan bangsawan. Pernah suatu ketika di ejek
teman-temannya dengan sebutan “Den Bagus tahi mabul” (tahi
kering).
Berpindah-Pindah Sekolah
Agar
memperoleh sentuhan pendidikan secara lebih baik, usia 8 tahun ia
dititipkan oleh ayahnya kepada adik perempuan satu-satunya yang
berdomisili di Wuryantoro Wonogiri. Suatu daerah sebelah timur
Yogyakarta yang secara sosio-ekonomi tidak lebih baik jika
dibandingkan dengan kondisi Godean. Hanya saja bibinya bersuamikan
mantri tani, Bapak Prawirowihardjo dan disinilah ia memperoleh
pendidikan lebih baik daripada yang diperolehnya di Kemusuk. Belum
satu tahun tinggal di Wonogiri, Soeharto kecil dijemput untuk pulang
ke Kemusuk karena dirindukan oleh Ibunya. Setahun kemudian ia baru
dijemput keluarga Prawirowihardjo untuk menetap lagi dan melanjutkan
sekolah di Wuryantoro Wonogiri.
Setelah
menamatkan sekolah rendah lima tahun, ia dimasukkan sekolah lanjutan
rendah (schakel school) di Wonogiri. Ia terpaksa pindah rumah ke
Selogiri, 6 kilometer dari Wonogiri dan tinggal di rumah Citratani,
kakak perempuan yang menikah dengan pegawai pertanian. Saat usia
menginjak 14 tahun , ia baru di khitan (sunat), dan dirayakan dengan
selamatan (tasyakuran) secara sederhana.
Kehidupan
keluarga Citratani retak, sehingga ia terpaksa pindah ke Wonogiri
lagi dan tinggal di keluarga Bapak Hardjowiyono, teman ayahnya,
seorang pensiunan pegawai Kereta Api. Keluarga ini tidak punya anak.
Di tempat ini, Soeharto kecil biasa membersihkan rumah sebelum
berangkat sekolah, dan pergi ke pasar untuk belanja ataupun
menjualkan hasil kerajinan tangan buatan Bu Hardjo. Melalui keluarga
ini pula, Soeharto kecil bersentuhan dengan Kyai Daryatmo, sosok kyai
sufistik yang tidak hanya memiliki penguasaan ilmu agama sangat luas,
akan tetapi juga merupakan seorang tabib (menguasai ilmu pengobatan)
dan psikolog sekaligus guru masyarakat. Kediaman Kyai Daryatmo tidak
berjauhan dengan kediaman Bapak Hardjowiyono dan di langgar (mushola)
Kyai inilah, Soeharto kecil belajar agama. Ia juga sering
mendengarkan nasehat-nasehat Kyai Daryatmo kepada mereka yang banyak
datang memerlukan, orang-orang terpelajar, pedagang, pegawai, petani
sampau bakul-bakul (pedagang kecil).
Keceriaan
tinggal di keluarga ini harus terputus dan Soeharto kecil harus
kembali ke Kemusuk untuk melanjutkan sekolah Muhammadiyah yang
dijalaninya setiap hari dengan naik sepeda dari Kemusuk ke
Yogyakarta. Ia terpaksa meninggalkan keluarga Hardjowiyono dan
langgar (mushola) Kyai Daryatmo karena ada peraturan sekolah yang
mengharuskan murid pakai celana pendek dan bersepatu, sedang orang
tuanya tidak sanggup membelikan. Walaupun di kota, di Yogya ia bisa
bersekolah dengan memakai sarung atau kain. Ia tidak kikuk, karena
ada murid lain yang ke sekolah dengan pakaian seperti dirinya. Pada
saat di Yogya inilah ia mulai mendengar gerakan-gerakan menentang
penjajahan yang digerakkan oleh tokoh-tokoh politik. Ia tetap saja
fokus pada pelajaran dan pada tahun 1939 (usia 18 tahun) ia berhasil
menamatkan sekolah di schakel Muhammadiyah Yogyakarta.
Mengadu Nasib
Setelah
tamat ia justru dihadapkan kesulitan baru, karena ayahnya maupun
anggota keluarga ayahnya yang lain tidak ada yang sanggup
membiayainya melanjutkan sekolah. Ia masih ingat kata-kata ayahnya
saat itu. “Nak… tak lebih dari ini yang dapat kulakukan untuk
melanjutkan sekolahmu. Dari sekarang kamu sebaiknya mencari pekerjaan
saja. Dan kalau sudah dapat, Insya Allah, kamu dapat melanjutkan
pelajaranmu dengan uangmu sendiri”. Ia kesana kemari mencari
pekerjaan. Pada waktu itu tidak gampang mendapatkannya tanpa uluran
tangan orang yang berkedudukan, berpengaruh, orang kaya ataupun
pengusaha besar. Setelah kesana kemari tidak berhasil, ia pergi ke
Wuryantoro, karena di tempat ini banyak kenalan.
Sampai
suatu ketika ia memperoleh pekerjaan sebagai pembantu klerek pada
sebuah Bank Desa (Volks Bank). Ia mengikuti klerek bank berkeliling
kampung dengan sepeda dengan mengenakan pakaian Jawa lengkap, dengan
kain blankon dan baju beskap. Di kantor-kantor lurah ia membantu
klerek menampung permintan para petani, pedagang kecil dan para
pemilik warung yang menginginkan pinjaman. Disinilah ia belajar
pembukuan dan dalam dua bulan pembukuan itu dikuasainya. Bahkan
Mantri Bank Desa mengakui jika otak Soeharto kecil encer. Tapi takdir
tidak selalu sejalan apa yang direncanakan oleh setiap orang, begitu
pula dengan apa yang dialami Soeharto kecil. Suatu ketika, saat turun
dari sepeda yang sudah reot, kain yang dipakainya tersangkut pada per
sadel yang menonjol keluar dan sobeklah kain yang dipakainya. Ia
dicela klerek yang didampinginya dan juga dimarahi Bibinya. Ia
dibentak Bibinya dan dikatakan kalau itu satu-satunya kain yang baik
dan tidak ada kain lain yang bisa diberikan kepadanya. Peristiwa itu
mengantarkannya kembali menjadi pengangguran dari pekerjaan yang
sudah dengan susah payah didapatkannya. Ia mencoba mengadu nasib ke
Solo, tapi tidak juga mendapatkan pekerjaan. Ia kembali ke Wuryantoro
Wonogiri dan hari-harinya diisi dengan kegiatan gotong royong,
membangun sebuah langgar (mushola), menggali parit dan membereskan
lumbung.
Masuk Pendidikan Militer
Tangga
karier Soeharto remaja mulai terbuka ketika ada pengumuman dibuka
pendataran masuk KNIL (Koninlijk Nederlands-Indisch Leger) atau
Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Ia diterima masuk Kortverband di
Gombong. Merupakan dinas pendek yang latihannya mirip milisi, dalam
waktu 3 tahun. Ia lulus terbaik dan ditugaskan praktek menjadi wakil
Komandan Regu di Batalyon XIII Rampal Malang. Ia juga praktek jaga
malam di pantai pertahanan di Gresik selama dua minggu, tapi malang
nasibnya ia diserang Malaria. Penyakitnya itu kambuh lagi ketika di
Malang dan memaksanya dirawat di rumah sakit. Setelah keluar rumah
sakit ia ikut ujian masuk Sekoilah Kader di Gombong untuk mendapatkan
pangkat sersan. Setelah selesai mengikuti pendidikan dan mendapatkan
pangkat sersan, ia dikirm ke Bandung, dijadikan cadangan pada Markas
Besar Angkatan Darat dan ditempatkan di Cisarua.
Garis
takdir menentukan lain, setelah dua minggu penempatan, Balanda
menyerah pada Jepang. Tepatnya pada tanggal 8 Maret 1942, Jepang
mulai menguasai Hindia Belanda. Dalam suasana penuh ketidakpastian
atas kemungkinan penangkapan oleh Jepang, dengan berbekal uang satu
gulden, ia main kartu cemeh dan kertu londo. Uangnya bertambah
menjadi 50 gulden dan ia gunakan bekal pulang kampung bersama seorang
temannya, Amat Sudono, naik kereta dari Cimahi menuju Yogyakarta.
Dari Yogya ia kembali ke Wuryantoro dan harus berbaring selama enam
bulan oleh serangan Malaria.
Sementara
Jepang sudah membentuk lembaga-lembaga keamanan mulai dari
Karisidenan hingga kampung-kampung, seperti Keibodan dan Seinendan.
Wanita-wanita dikerahkan melalui Fujin Kei. Kenco atau Bupati
dibentuk tanpa menurut kebiasaan lama yang bertumpu pada garis
keturunan sebagaimana jaman Belanda. Begitu pula dengan pengangkatan
pamongpraja. Romusha juga dibentuk sebagai Badan Pengerahan Pekerja
Paksa. Tenaga-tenaga itu dipakai untuk membangun dobuku (dam irigasi)
di pelbagai tempat di Jawa, namun juga dikirim ke Birma untuk
membangun jalan sesuai kebutuhan Jepang. Pengibaran bendera
Merah-Putih yang semula diijinkan segera dilarang da diganti bendera
Jepang, Hinomaru. Begitu pula dengan lagu Indonesia Raya digantinya
dengan Kimigayo. Setelah mulai sembuh, Soeharto muda mulai lagi
mencari pekerjaan dan mengadu nasib di Yogya.
Masuk Peta
Pantang
menyerah merupakan salah satu ciri kas pemuda desa yang kelak
memimpin Indonesia ini. Soeharto muda ikut kursus mengetik dan juga
sakitnya kambuh ketika mengadu nasib di Yogyakarta ini hingga suatu
ketika ada penerimaan keanggotan Keibuho, Polisi Jepang di Indonesia.
Ia diterima dan bahkan lulus latihan dengan predikat terbaik. Kepala
Polisi Opsir Jepang bahkan menyuruhnya Belajar Bahasa Jepang dan
menganjurkannya mendaftarkan menjadi tentara sukarela PETA (Pembela
Tanah Air). Ia diterima dan dilatih sebagai Shodancho, komandan
peleton. Disini ia memperoleh tempaan keras khas Jepang dengan titik
berat pada penguasaan taktik kesatuan kecil, peleton atau seksi.
Selesai pelatihan ia ditempatkan di Batalyon di Wates Yogyakarta, pos
pertahanan di Glagah di pantai selatan Yogyakarta, Solo dan Madiun.
Nasib
baik memayungi Soeharto muda ini karena segera terpilih menjadi untuk
mengikuti pelatihan Chudancho (komandan kompi), untuk mempelajari
taktik dan strategi perang. Selesai latihan ia di tempatkan di Seibu,
markas besar Peta di Solo, di Kusumoyudan. Setelah itu ia di tugaskan
Jaga Monyet (nama asrama Tentara) Jakarta, untuk melatih siswa STM
menjadi tentara zeni. Kemudian dipindah lagi Markas Besar PETA yang
sudah pindah ke Madiun. Ia berhasil lolos dari pembersihan akibat
pemberontakan PETA di Blitar dan masih dipertahankan Jepang untuk
kemudian ditempatkan di kaki Gunung Wilis di desa Brebeg selatan
Madiun melatih prajurit PETA. Kini pemuda yang masa lalu sokolahnya
berpindah-pindah dan kesulitan mencari pekerjaan itu telah mengenal
dua tradisi kemiliteran (Belanda dan Jepang) yang sangat berpengaruh
dalam menopang karirnya kelak dikemudian hari.
***
DI MASA DWIKORA
Pada
tanggal 1 Mei 1963, saya diangkat menjadi Panglima Komando Strategis
Angkatan Darat (Kostrad) dan kembalilah saya dengan kesibukan rutin.
Jend Soeharto & Komodor Leo Wattimena dalam Brifinf Oprasi TRIKORA |
Sementara
itu, situasi politik di dalam negeri tambah tidak menentu. PKI
menggusur-gusur partai-partai dan ormas-ormas lainnya dengan
menyatakan dirinya yang paling revolosuiner, sedang yang lain, yang
menentangnya ditunjuknya sebagai “kontra revolusi”.
Sedikit-sedikit tuduhan “kontra revolusi” itu terdengar dan
telunjuk ditudingkan kepada pihak-pihak yang tidak mau diseret oleh
PKI atau yang menentangnya. PKI meneriakkan “Yang tidak bersama
kita adalah musuh kita”. Maksudnya, yang tidak mengikuti langkah
PKI adalah lawannya”.
Jend Soeharto & R.E. Martadinata |
PKI terus mengipas-ngipas Bung Karno.
Dan orang-orang yang ada di sekitar Presiden itu tidak ada yang
berani menyampaikan pendapat mereka yang berlainan.
Gambaran
politik waktu itu sudah jelas: adanya perselisihan yang tajam antara
Angkatan Darat, golongan Islam yang anti komunis dan golongan
nasionalis yang anti komunis di satu pihak, dengan apa yang dinamakan
golongan “progresif revolusioner” alias PKI dan yang bisa
disertakan dengan PKI di pihak lainnya.
Sementara
itu saya sering risau karena didatangi anak buah yang meminta
pendapat dan penilaian saya. Juga mereka menunjukkan tarikan muka
seperti mendesak, ingin mendapat keterangan mengapa saya diam. Saya
jawab, “Saya tidak buta. Saya telah melapor kepada atasan tentang
keadaan. Situasi memang serius. Tetapi saya tidak mendapat reaksi
apa-apa. Apa lagi dapat saya lakukan lebih dari itu ?”
Keadaan
memang menekan sementara suasana terasa pengap. Sampai-sampai pasa
suatu ketika saya berfikir selintas untuk berhenti saja dari
kedinasan dan pindah tempat kerja, menjadi supir taksi atau menjadi
petani. Dalam setengah gurau, pernah saya ceritakan pikiran selintas
ini kepada teman. Tapi sahabat saya itu Cuma menyambung senyum saya
dengan tertawa, lalu membelokkan percakapan kami kepada soal-soal
yang ringan.
Tanggal
16 September 1963 terbentuklah Federasi Malaysia.
Presiden
Soekarno yang sebelumnya telah membuat langkah-langkah
menghalang-halangi lahirnya negara bentukan baru itu, sangat marah
dengan kejadian ini dan menilainya sebagai suatu pelanggaran terhadap
kesepakatan yang sudah ditetapkan terdahulu. Presiden Soekarno
menganggap “Malaysia” ini sebagai proyek neokolonialisme Inggris.
Berkenaan
dengan itu kita patut menengok ke belakang.
Pada
tahun 1962, terjadi pemberontakan anti Malaysia di Brunei. Bung Karno
melihat, pemberontakan itu patut didukung. Pendiriannya berkenaan
dengan ini adalah bahwa “Indonesia selalu berjuang untuk membela
hak penentuan nasib sendiri dari semua bangsa di dunia”
Katanya
lagi, “Gerilyawan dari Indonesia menyokong pemberontakan di Brunei
itu. Brunei telah menyokong revolusi Indoensia di masa yang lalu
dengan sukarelawan, makanan, dan uang. Perdana Menteri dari
pemerintahan pemberontakan itu, Azhari, pernah jadi kapten pada TNI”.
Dalam
proses ke arah pembentukan “Malaysia” itu pernah dilaksanakan
pertemuan-pertemuan puncak pemerintah Malaysia, Filipina, dan
Indonesia. Presiden Soekarno pernah berunding dengan Tengku Abdul
Rachman Putera di Tokyo, di bulan Juni 1963.
Sebentar
reda suhu politik berkenaan dengan rencana pembentukan “Malaysia”
itu. Tetapi kemudian Bung Karno berteriak lagi karena PM Tengku Abdul
Rachman menandatangani dokumen mengenai pembentukan Federasi Malaysia
satu bulan lebih setelah pertemuan mereka berdua di Tokyo itu. Bung
Karno menunjukkan kekesalannya, dengan menyebutkan di depan umum,
bahwa “Pemerintah Indonesia telah dikentuti”. Bung Karno
kelihatan ngambek benar terhadap Tengku, karena ingat juga,
bahwa Tengku adalah seorang yang telah membantu
pemberontakan-pemberontakan yang melawan Bung Karno dengan membiarkan
mereka tinggal dan berkeliaran di Malaya.
“Maphilindo”,
yakni Malaysia, Filipina, dan Indonesia, terdengar seolah-olah akan
menyelesaikan persoalan. Tetapi ternyata tidak mampu.
Sementara
itu persoalan “Malaysia” ini sudah berada di tangan PBB.
Diplomasi
terus berjalan.m Pertemuan puncak dari tiga kepala negara, Malaya,
Filipina dan Indonesia dilangsungkan pada akhir Juli 1963 di Manila.
Pertemuan
manila itu menghasilkan tiga dokumen yang antara lain menyebutkan,
bahwa ketiga kepala negara yang berunding mufakat untuk meminta
Sekjen PBB menyelidiki keinginan rakyat di daerah-daerah yang akan
dimaksukkan ke dalam Federasi Malaysia itu. Indonesia dan Filipina
menyambut baik bilamana keinginan rakyat telah diselidiki oleh suatu
otoritas yang bebas dan tidak memihak, yaitu Sekjen PBB atau
wakilnya.
Sepulang
dari Manila, Bung Karno bukan menjadi cerah dan gembira. Tanggapan
mengenai “Malaysia” itu malahan mendorongnya supaya Indonesia
lebih siaga. Tentunya pelbagai informasi mengenai masalah ini masuk
kepadanya dari pelbagai jurusan, diantaranya dari PKI yang waktu itu
sedang giat-giatnya menjalankan programnya, antara lain dengan
rencananya untuk membentuk “Angkatan ke-V” yang kami tolak”.
Semula
pembentukan Federasi Malaysia itu akan dilakukan pada tanggal 31
Agustus 1963 di London. Tapi kemudian rencana itu diundur. Dan
kenyataan membuktikan, bahwa pada tanggal 16 September 1963, walaupun
misi PBB belum menyampaikan hasil laporan penyelidikannya mengenai
kehendak rakyat di daerah-daerah yang akan dimasukkan ke dalam yang
disebut Malaysia itu, pembentukan Malaysia tetap dilaksanakan.
Maka
demonstrasi pun terjadi di Kuala Lumpur terhadap Kedutaan Besar RI
dan begitu juga di Jakarta terhadap Kedutaan Besar Malaysia dan
Inggris.
Sudah
bisa diramalkan sebelumnya, bahwa hal itu akan terjadi. Dan kenyataan
menunjukkan lebih lagi. Sebab kemudian, pada tanggal 17 September
1963 Pemerintah RI memutuskan hubungan diplomatik dengan pemerintahan
Kuala Lumpur.
Berkorbarlah
api yang disulut sewaktu Presiden Soekarno menyerukan Komando
Pengganyangan Malaysia yang dikenal dengan Dwi-Komando-Rakyat atau
singkatannya “Dwikora”, dalam sebuah apel besar Sukarelawan di
Jakarta 3 Mei 1964. “Dwikora” itu menetapkan: perhebat ketahanan
Revolusi Indonesia dan bantu perjuangan Revolusioner rakyat Serawak
dengan menggagalkan pembentukan negara boneka Malaysia.
Situasi
terasa amat berbahaya. Di wajtu-waktu yang meresahkan ini lahir anak
kami yang keenam, seorang perempuan, yang kami beri nama Siti Hutami
Endang Adiningsih. Kelahirannya pada tanggal 23 Agustus 1964 melewati
operasi. Hari kelahiran istri saya tanggal 23 Agustus 1923. Jadi pada
ulang tahunnya yang ke 41, hadiahnya operasi melahirkan anak kami
yang keenam. Ceritanya aneh tapi nyata. Pada waktu istri saya
mengandung tua, saya mengikuti latihan terjun payung. Rupanya ada
yang memberi tahu bahwa latihan terjun payung itu berat,
jungkir-balik, bisa menyangku di pohon, dan lain sebagainya. Ternyata
berita itu berpengaruh pada istri saya dan bayi yang dikandungnya.
Letak bayi sungsang. Dokter telah berusaha membetulkan, tetapi
kembali lagi sungsang. Untuk keselamatan ibu dan bayi. Dokter
memutuskan operasi. Setelah operasi berhasil, saya masih sempat
menyelesaikan latihan terjun payung karena tinggal terjun terakhir,
ialah pada malam hari. Semua latihan terjun dapat saya ikuti dan
dinyatakan lulus. Sebagai Panglima Kostrad, dengan selesainya latihan
terjun itu, saya dapat mengetahui dan merasakan suka duka pasukan
payung . Saya lebih siap menghadapi kemungkinan. Suasana konfrontasi
dengan Malaysia makin panas.
*
Maka
dibentuklah komando dalam rangka Dwikora itu. Panglimanya dipilih
Omar Dhani. Rupanya mereka punya keyakinan bahwa yang bisa memimpin
perang bukan hanya Angkatan Darat, tetapi juga angkatan lainnya.
Karena itulah, maka pimpinannya dipercayakan kepada Angkatan Udara.
Pada
Tanggal 2 September 1964 ditetapkan susunan Komando Siaga (KOGA)
dengan panglimanya Laksamana (U) Omar Dhani. Wakil panglimanya ialah
Laksamana (L) Mulyadi dan Brigjen A. Wiranatakusumah. Kepala stafnya
Komodor (U) Leo Watimena.
Ternyata
kemudian terjadi kekacauan. Dan saya dipanggil untuk menjadi Wakil
Panglima dalam Komando bentukan baru.
Tanggal
28 Februari 1965, jadi setelah lima bulan kemudian setelah
dibentuknya KOGA, Presiden mengubah KOGA itu dengan membentuk
“Komando Mandala Siaga” (KOLAGA). Sekarang saya diangkat menjadi
Wakil Panglima I KOLAGA tiu sementara panglimanya tetap bekas
Panglima KOGA, Omar Dhani. Yang diangkat jadi Wakil Panglima II ialah
Laksamana (L) Mulyadi. Kepala stafnya tetap Leo Watimena yang sudah
jadi Laksda. (U). Ia didampingi oleh wakil Kepala Staf Brigjen A.
Satari.
Saya
ingat, waktu itu baru saja dijalankan operasi seperti pola “Trikora”
dengan infiltrasi dan menerjunkan pasukan dan sebagainya dengan
pesawat. Tetapi infiltrasi itu tidak ada yang berhasil, bahkan
pesawatnya masuk laut. Dengan ini terbukti bahwa melaksanakan tugas
serupa “Trikora” itu tidak segampang seperti dikira sementara
orang.
Maka
setelah saya diangkat jadi Wakil Panglima KOLAGA, saya mengadakan
perjalanan inspeksi ke daerah Indonesia di bagian utara Kalimantan
dan ke Sumatera Utara. Direncanakan dari daerah-daerah itu akan
dilancarkan serangan terhadap Malaysia, memenuhi ketetapan Dwikora.
Saya melihat berbagai hal yang tidak beres. Maka saya mencoba
membenahi keadaan yang kusut itu. Tetapi karena kegiatan operasinya
sedang berjalan, pola itu harus melanjut. Operasi infiltrasi dengan
penerjunan udara sudah gagal, tidak mungkin dilanjutkan. Karena itu,
saya ubah dengan pembentukan kantong-kantong lebih dulu, dengan
menghubungi orang-orang Malaysia yang pro Republik. Jalan yang paling
aman hanya dari punggung mereka. Dibangun pos komando gelap di
Bangkok, dengan jalur logistik lewat laut Jakarta-Bangkok. Team Ali
Murtopo, Ramly dan Benny Moerdani serta Sumendap yang ditugasi. Dan
team ini pula yang ditugasi untuk mengadakan kontak-kontak dengan Tun
Abdul Razak, Gazali dan Des Alwi dalam menghentikan konfrontasi,
setelah G.30.S./PKI digagalkan.
Dalam
pada itu, PKI terus meningkatkan agitasinya. Teriakan “Ganyang ini
! Ganyang itu! Ganyang setan Desa! Ganyang setan kota” tak
henti-hentinya.
Di
pelbagai tempat terjadi keributan. Di Kediri terjadi keributan,
Seorang Kiai dan Imam dipukuli oleh orang-orang PKI. Di bandar Bersy,
Sumatera Utara, Peltu Sudjono dikeroyok secara beramai-ramai oleh
orang-orang PKI sampai meninggal.
PKI
menuntut Nasakomisasi di segala bidang. Lalu PKI menuntut Pembentukan
“Angkatan ke-V”, yaitu buruh dan tani dipersenjatai. Silsilahnya
adalah, PM Chou En Lai menyarankan kepada PKI untuk membentuk
“Angkatan ke-V”. Waktu itu kita mengenal empat angkatan disini,
yakni Angkatan Darat, Laut, Udara, dan Angkatan Kepolisian. Chou En
Lai menjanjjikan 100.000 pucuk senjata ringan secara Cuma-Cuma untuk
pembentukan Angkatan ke-V itu.
Pimpinan
Angkatan Darat dengan tegas menolak tuntutan PKI itu. Begitu juga
pimpinan Angkatan lainnya, kecuali pimpinan AURI, Omar Dhani
menyetujui.
Politik
luar negeri terus meluncur setelah putusnya hubungan diplomatik
Jakarta-Kuala Lumpur. Tetapi persoalan “Malaysia” tidak berhenti
sampai di sana. Sementara suntikan RRC masuk Indonesia, Malaysia
berusaha untuk diterima menjadi anggota Dewan Keamanan PBB.
Para
diplomat kita di New York dicambuk untuk bekerja keras, supaya usaha
Malaysia untuk bisa diterima sebagai anggota Dewan Keamanan PBB itu
gagal. Maka gebrakan pun yng dilakukan di Jakarta diteruskan ke pusat
PBB: “Jika PBB menerima Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan,
Indonesia akan keluar, Indonesia akan meninggalkan PBB sekarang”.
Tetapi
kondisi dan situasi PBB waktu itu menunjukkan kenyataan, menerima
Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan.
Tak
selang lama, Presiden Soekarno memutuskan, Indoensia keluar dari PBB,
Menlu Subandrio dengan resmi menyatakan sikap Indonesia seperti
demikian pada tanggal 1 januari 1965.
*
Lalu PKI
menghebus-hembuskan issue tentang yang disebutnya “Dewan Jenderal”
disertai dengan disiarkannya apa yang disebut “Document Gilchrist”.
Gilchrist adalah Duta Besar Inggris yang waktu itu bertugas di
Indonesia. Dan dokumen yang memakai namanya itu dikatakan ditemukan
di rumah Bill Palmer, di Puncak, waktu rumah orang Amerika itu,
importir film-film Amerika, di obrak abrik Pemuda Rakyat.
Aidit
mengemukakan masalah yang disebutnya “Dewan Jenderal” itu.
Subandrio membicarakannya. Sampai ke telinga Presiden Soekarno yang
kemudian menanyakan kepada Pangab Letjen A. Yani. Presiden bertanya,
“Apa benar ada Dewan Jenderal dalam Angkatan Darat yang katanya
bertugas antara lain untuk melakukan penilaian-penilaian terhadap
kebijaksanaan yang telah saya gariskan?”. Jenderal Yani menjawab,
“Tidak benar, Pak. Yang ada ialah “Wanjakti” (Dewan Jabatan dan
Kepangkatan Perwira Tinggi), sebagai panitia untuk mengurus jabatan
dan kepangkatan Perwira-perwira Tinggi Angkatan Darat”.
Lalu
issue tentang “Dewan Jenderal” itu dikembangkan, tentunya
oleh Aidit, dengan menyebutkan, bahwa “ada jenderal-jenderal yang
tidak loyal terhadap Pemimpin Besar Revolusi”. Dan akhirnya
menyebutkan, bahwa “Dewan Jenderal akan mengadakan coup”.
Issue
mengenai “Dewan Jenderal” itu mencapai tingkat yang berkembang
sekitar bulan Mei, Juni dan Juli, serta mencapai puncaknya pada bulan
Agustus dan September 1965.
Tanggal
4 Agustus 1964 Presiden jatuh pingsan dan muntah-muntah. Kejadian ini
dupanya menimbulkan pikiran yang mendesak pada Aidit yang baru
kembali dari perjalanannya ke Moskow dan Peking, untuk mengadakan
tindakan, yakni merebut kekuasaan. Ia salah terka. Rupanya ia
berfikir, lebih baik mendahului daripada didahului oleh Angkatan
Darat, seperti yang dibayangkannya sendiri. Maka terjadilah
malapetaka di negeri kita ini, berdasarkan pikiran-pikiran mereka
yang jahat itu.
***
Penuturan Presiden Soeharto, dikutip langsung dari buku “Soeharto:
Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan
Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982.
http://soeharto.co/tag/biografi-2
http://soeharto.co/tag/biografi-2
Adakah anda memerlukan pinjaman .Kami adalah sah dan menjamin pemberi pinjaman pinjaman. Kami adalah sebuah syarikat dengan bantuan kewangan. Kami memberi pinjaman tabungan kepada individu yang memerlukan bantuan kewangan, yang mempunyai kredit yang buruk atau memerlukan wang untuk membayar bil, untuk melabur dalam perniagaan. Saya mahu menggunakan medium ini untuk memberitahu anda bahawa kami memberikan bantuan benefisiari dipercayai sebagaimana Kami akan gembira untuk menawarkan pinjaman Hubungi kami melalui E-mel: hammers_credit@yahoo.com
BalasHapusPerkhidmatan Disediakan termasuk
* Penyatuan Hutang
* Pinjaman Perniagaan
* Pinjaman Peribadi.
* Pinjaman Kereta
* Sewa dan House Pinjaman
Masuk kira semula jika berminat dengan kadar faedah kami sebanyak 4% tahunan. Hubungi kami melalui E-mel: hammers_credit@yahoo.com
Sila Nota: Semua individu yang berminat hendaklah menghantar mesej kepada e-mel kami untuk maklum balas segera dan butiran untuk mendapatkan pinjaman.
Selamat sejahtera.