Perang ini berawal dari keinginan Federasi Malaya lebih dikenali sebagai Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961 untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak ke dalam Federasi Malaysia yang tidak sesuai dengan Persetujuan Manila. Oleh karena itu, keinginan tersebut ditentang oleh Presiden Sukarno yang menganggap pembentukan Federasi Malaysia yang sekarang dikenal sebagai Malaysia sebagai "boneka Inggris" merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru serta dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan dalam negeri dan pemberontakan di Indonesia.
Latar belakang
Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya, Federasi Malaya dengan membentuk Federasi Malaysia.
Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Sukarno
berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi
Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga
mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.
Di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember 1962. Mereka mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari Singapura. Pada 16 Desember, Komando Timur Jauh Inggris (British Far Eastern Command) mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi, dan pada 17 April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir.
Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Federasi Malaysia apabila mayoritas di daerah yang hendak dilakukan dekolonial memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September,
sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan
federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut
campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai Persetujuan Manila yang dilanggar dan sebagai bukti kolonialisme dan imperialisme Inggris.
" Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Sukarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Sukarno terhadap Malaysia pun meledak."
Demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur yang berlangsung tanggal 17 September 1963, berlaku ketika para demonstran yang sedang memuncak marah terhadap Presiden Sukarno yang melancarkan konfrontasi terhadap Malaysia dan juga karena serangan pasukan militer tidak resmi Indonesia terhadap Malaysia. Ini mengikuti pengumuman Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia pada 20 Januari 1963. Selain itu pencerobohan sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase pada 12 April berikutnya.
Sukarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan demonstrasi anti-Indonesia yang menginjak-injak lambang negara Indonesia[5] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Malaysia. Sukarno memproklamasikan gerakan Ganyang Malaysia melalui pidato beliau yang sangat bersejarah, berikut ini:
" Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu djuga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang adjar!
Kerahkan pasukan ke Kalimantan, kita hadjar tjetjunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat djangan sampai tanah dan udara kita diindjak-indjak oleh Malaysian keparat itu
Doakan aku, aku bakal berangkat ke medan djuang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang enggan diindjak-indjak harga dirinja
Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tundjukkan bahwa kita masih memiliki gigi dan tulang jang kuat dan kita djuga masih memiliki martabat
Yoo...ayoo... kita... Ganjang...
Ganjang... Malaysia
Ganjang... Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satu-satu! "
Sukarno
Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Federasi Malaysia resmi dibentuk pada 16 September 1963. Brunei menolak bergabung dan Singapura keluar di kemudian hari.
Ketegangan berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para perusuh membakar kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.
Di sepanjang perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan. Pasukan Indonesia dan pasukan tidak resminya mencoba menduduki Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil.
Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengoordinasi kegiatan perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu (Kopurtu) berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD, termasuk tiga Batalyon Para dan satu batalyon KKO. Komando ini sasaran operasinya Semenanjung Malaya dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris sebagai Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan Barat dan terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur KKO, AURI, dan RPKAD. Komando ini dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II. Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau dan Kalimantan Timur.
Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service (SAS). Tercatat sekitar 2000 pasukan Indonesia tewas dan 200 pasukan Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara kalimantan (Majalah Angkasa Edisi 2006).
Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan membunuh pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan menumpas juga Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor.
Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap, Sukarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif.
Sebagai tandingan Olimpiade, Sukarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.
Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalui perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia (lihat Operasi Claret). Australia mengakui penerobosan ini pada 1996.
Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed Constabulary.
Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Semporna. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun gagal. Peristiwa ini dikenal dengan "Pengepungan 68 Hari" oleh warga Malaysia.
Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Konfrontasi_Indonesia-Malaysia
Merdeka.com - Perintah Presiden Soekarno untuk menggayang Malaysia, dijawab pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Mereka menggelar operasi Dwikora di sepanjang perbatasan Kalimantan dengan Sabah dan Serawak sekitar tahun 1964.
Tidak ada pernyataan perang resmi seperti saat operasi militer Trikora merebut Irian Barat. Karena itu ABRI tidak mengirim pasukan secara terbuka. Mereka mengirim gerilyawan-gerilyawan untuk membantu Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) yang berperang melawan pemerintah Malaysia.
Walau disebut gerilyawan, sebagian besar anggotanya justru pasukan elite ABRI. Seperti Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) atau Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dari TNI AU. Mereka bertempur bukan sebagai anggota ABRI tapi TNKU. Seragam ABRI diganti dengan seragam hijau TNKU. Identitas mereka pun dipalsukan untuk menghapus jejak keterlibatan Indonesia.
Tugas gerilyawan ini mengganggu perbatasan di sepanjang Sabah dan Serawak. Mereka juga bertugas melatih warga Kalimantan Utara tata cara bertempur.
Pasukan Malaysia yang terdesak kemudian meminta bantuan Inggris. Tidak tanggung-tanggung Inggris langsung mengirim sekitar satu batalyon pasukan komando Special Air Services (SAS). Inilah pasukan elite terbaik Inggris yang reputasinya melegenda ke seluruh dunia. Inggris juga mengirim pasukan Gurkha dan SAS tambahan dari Selandia baru dan Malaysia.
Komandan Pasukan Inggris di Malaya, Mayor Jenderal Walter Walker merasa perlu mendatangkan SAS karena merasa hanya pasukan elite ini yang bisa membendung pasukan gerilya asal Indonesia. Walker tak mau jatuh korban lebih banyak di kalangan Inggris.
Pertempuran antara SAS dan Gurkha melawan gerilyawan TNKU berlangsung seru. Lebatnya rimba Kalimantan menjadi saksi pertempuran yang tak pernah diberitakan media tersebut. Kadang pasukan Inggris mengalahkan gerilyawan TNKU dalam pertempuran. Kadang gerilyawan TNKU yang memukul pasukan SAS dan Gurkha. Sulit untuk mencatat secara pasti data-data pertempuran.
Dalam sebuah pertempuran di Kampung Sakilkilo tanggal 10 Juli 1964, tercatat TNKU meraih kemenangan. Saat itu dua peleton Gurkha melawan satu peleton TNKU. Dalam serangan tersebut, TNKU berhasil menewaskan 20 orang Gurkha tanpa satu pun korban jatuh di pasukan gerilyawan.
Dalam klaim, Indonesia mengaku pernah menembak jatuh empat pesawat tempur Inggris dengan tembakan penangkis serangan udara. Tapi ABRI pun kehilangan sebuah Hercules C-13008 milik TNI AU.
Tanggal 2 September 1964, tiga Hercules terbang membawa 100 orang pasukan PGT. Ada juga 10 gerilyawan China Melayu, dan dua orang gadis untuk penerjemah.
Hercules itu bertugas menerjunkan pasukan PGT di Kalimantan. Ikut dalam pesawat tersebut Komandan Resimen Tim Pertempuran (PGT) Letkol Sugiri Sukani. Sugiri Sukani sudah berpengalaman terjun di belantara. Saat Trikora, Sugiri juga yang memimpin pasukan PGT terjun di Irian.
Namun malang, satu Hercules jatuh ke laut sebelum berhasil menerjunkan pasukan. Sekitar 40 orang gerilyawan bersama Letkol Sugiri dan Letnan I Udara Suroso, tewas.
Perang gerilya ini memakan biaya besar bagi Indonesia dan Inggris. Saat itu pimpinan ABRI merasa jika diteruskan, konflik Dwikora ini tak akan menguntungkan Indonesia. Apalagi tahun 1965, ekonomi Indonesia sedang jatuh. Sejumlah pimpinan ABRI dan Malaysia pun sebenarnya sudah membuka sebuah dialog untuk perdamaian.
Ditambah lagi, Gerakan 30 September meletus di Jakarta tahun 1965. Mayjen Soeharto yang mengambil alih kepemimpinan militer memilih menarik kekuatan pasukan-pasukan ABRI dari Kalimantan. Dengan pasukan itulah Soeharto fokus memerangi Partai Komunis Indonesia.
Ketika berkuasa, Soeharto pun enggan meneruskan konflik dengan Malaysia. Dua negara serumpun ini berdamai dan hidup berdampingan sebagai tetangga. Walau kadang ada saja yang membuat hubungan Indonesia dan Malaysia menghangat.
" Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Sukarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Sukarno terhadap Malaysia pun meledak."
Demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur yang berlangsung tanggal 17 September 1963, berlaku ketika para demonstran yang sedang memuncak marah terhadap Presiden Sukarno yang melancarkan konfrontasi terhadap Malaysia dan juga karena serangan pasukan militer tidak resmi Indonesia terhadap Malaysia. Ini mengikuti pengumuman Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia pada 20 Januari 1963. Selain itu pencerobohan sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase pada 12 April berikutnya.
Sukarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan demonstrasi anti-Indonesia yang menginjak-injak lambang negara Indonesia[5] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Malaysia. Sukarno memproklamasikan gerakan Ganyang Malaysia melalui pidato beliau yang sangat bersejarah, berikut ini:
" Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu djuga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang adjar!
Kerahkan pasukan ke Kalimantan, kita hadjar tjetjunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat djangan sampai tanah dan udara kita diindjak-indjak oleh Malaysian keparat itu
Doakan aku, aku bakal berangkat ke medan djuang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang enggan diindjak-indjak harga dirinja
Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tundjukkan bahwa kita masih memiliki gigi dan tulang jang kuat dan kita djuga masih memiliki martabat
Yoo...ayoo... kita... Ganjang...
Ganjang... Malaysia
Ganjang... Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satu-satu! "
Sukarno
Perang
Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Tanggal 3 Mei 1964 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:- Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia
- Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia
Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Federasi Malaysia resmi dibentuk pada 16 September 1963. Brunei menolak bergabung dan Singapura keluar di kemudian hari.
Ketegangan berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para perusuh membakar kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.
Di sepanjang perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan. Pasukan Indonesia dan pasukan tidak resminya mencoba menduduki Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil.
Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengoordinasi kegiatan perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu (Kopurtu) berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD, termasuk tiga Batalyon Para dan satu batalyon KKO. Komando ini sasaran operasinya Semenanjung Malaya dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris sebagai Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan Barat dan terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur KKO, AURI, dan RPKAD. Komando ini dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II. Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau dan Kalimantan Timur.
Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service (SAS). Tercatat sekitar 2000 pasukan Indonesia tewas dan 200 pasukan Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara kalimantan (Majalah Angkasa Edisi 2006).
Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan membunuh pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan menumpas juga Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor.
Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap, Sukarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif.
Sebagai tandingan Olimpiade, Sukarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.
Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalui perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia (lihat Operasi Claret). Australia mengakui penerobosan ini pada 1996.
Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed Constabulary.
Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Semporna. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun gagal. Peristiwa ini dikenal dengan "Pengepungan 68 Hari" oleh warga Malaysia.
Akhir konfrontasi
Menjelang akhir 1965, Jenderal Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya G30S/PKI. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Konfrontasi_Indonesia-Malaysia
Operasi Dwikora, perang gerilya di perbatasan Malaysia
Merdeka.com - Perintah Presiden Soekarno untuk menggayang Malaysia, dijawab pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Mereka menggelar operasi Dwikora di sepanjang perbatasan Kalimantan dengan Sabah dan Serawak sekitar tahun 1964.
Tidak ada pernyataan perang resmi seperti saat operasi militer Trikora merebut Irian Barat. Karena itu ABRI tidak mengirim pasukan secara terbuka. Mereka mengirim gerilyawan-gerilyawan untuk membantu Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) yang berperang melawan pemerintah Malaysia.
Walau disebut gerilyawan, sebagian besar anggotanya justru pasukan elite ABRI. Seperti Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) atau Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dari TNI AU. Mereka bertempur bukan sebagai anggota ABRI tapi TNKU. Seragam ABRI diganti dengan seragam hijau TNKU. Identitas mereka pun dipalsukan untuk menghapus jejak keterlibatan Indonesia.
Tugas gerilyawan ini mengganggu perbatasan di sepanjang Sabah dan Serawak. Mereka juga bertugas melatih warga Kalimantan Utara tata cara bertempur.
Pasukan Malaysia yang terdesak kemudian meminta bantuan Inggris. Tidak tanggung-tanggung Inggris langsung mengirim sekitar satu batalyon pasukan komando Special Air Services (SAS). Inilah pasukan elite terbaik Inggris yang reputasinya melegenda ke seluruh dunia. Inggris juga mengirim pasukan Gurkha dan SAS tambahan dari Selandia baru dan Malaysia.
Komandan Pasukan Inggris di Malaya, Mayor Jenderal Walter Walker merasa perlu mendatangkan SAS karena merasa hanya pasukan elite ini yang bisa membendung pasukan gerilya asal Indonesia. Walker tak mau jatuh korban lebih banyak di kalangan Inggris.
Pertempuran antara SAS dan Gurkha melawan gerilyawan TNKU berlangsung seru. Lebatnya rimba Kalimantan menjadi saksi pertempuran yang tak pernah diberitakan media tersebut. Kadang pasukan Inggris mengalahkan gerilyawan TNKU dalam pertempuran. Kadang gerilyawan TNKU yang memukul pasukan SAS dan Gurkha. Sulit untuk mencatat secara pasti data-data pertempuran.
Dalam sebuah pertempuran di Kampung Sakilkilo tanggal 10 Juli 1964, tercatat TNKU meraih kemenangan. Saat itu dua peleton Gurkha melawan satu peleton TNKU. Dalam serangan tersebut, TNKU berhasil menewaskan 20 orang Gurkha tanpa satu pun korban jatuh di pasukan gerilyawan.
Dalam klaim, Indonesia mengaku pernah menembak jatuh empat pesawat tempur Inggris dengan tembakan penangkis serangan udara. Tapi ABRI pun kehilangan sebuah Hercules C-13008 milik TNI AU.
Tanggal 2 September 1964, tiga Hercules terbang membawa 100 orang pasukan PGT. Ada juga 10 gerilyawan China Melayu, dan dua orang gadis untuk penerjemah.
Hercules itu bertugas menerjunkan pasukan PGT di Kalimantan. Ikut dalam pesawat tersebut Komandan Resimen Tim Pertempuran (PGT) Letkol Sugiri Sukani. Sugiri Sukani sudah berpengalaman terjun di belantara. Saat Trikora, Sugiri juga yang memimpin pasukan PGT terjun di Irian.
Namun malang, satu Hercules jatuh ke laut sebelum berhasil menerjunkan pasukan. Sekitar 40 orang gerilyawan bersama Letkol Sugiri dan Letnan I Udara Suroso, tewas.
Perang gerilya ini memakan biaya besar bagi Indonesia dan Inggris. Saat itu pimpinan ABRI merasa jika diteruskan, konflik Dwikora ini tak akan menguntungkan Indonesia. Apalagi tahun 1965, ekonomi Indonesia sedang jatuh. Sejumlah pimpinan ABRI dan Malaysia pun sebenarnya sudah membuka sebuah dialog untuk perdamaian.
Ditambah lagi, Gerakan 30 September meletus di Jakarta tahun 1965. Mayjen Soeharto yang mengambil alih kepemimpinan militer memilih menarik kekuatan pasukan-pasukan ABRI dari Kalimantan. Dengan pasukan itulah Soeharto fokus memerangi Partai Komunis Indonesia.
Ketika berkuasa, Soeharto pun enggan meneruskan konflik dengan Malaysia. Dua negara serumpun ini berdamai dan hidup berdampingan sebagai tetangga. Walau kadang ada saja yang membuat hubungan Indonesia dan Malaysia menghangat.
[ian]
http://www.merdeka.com/peristiwa/operasi-dwikora-perang-gerilya-di-perbatasan-malaysia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar