Tidak
terbayangkan sebelumnya, bahwa Tuhan mentakdirkan anggota Kompi X yang
berasal dari Lembaga Pendidikan Marinir di Surabaya suatu saat harus
memperingati hari kemerdekaan di tengah hutan Kalimantan. Tetapi itulah
kehidupan manusia, ada “kekuatan” yang menentukan jalan hidup
masing-masing umatnya.
Kami
para pelatih dan pembantu pelatih yang biasanya memperingati hari
besar di tengah kota Surabaya atau di medan latihan tempur Purboyo di
daerah Malang selatan, sekarang harus melaksanakan tugas operasi di hulu
Sungai Siglayan Kalimantan Timur bagian utara dekat dengan wilayah
Malaysia, Sabah sebagai seorang Komandan, saya merasakan situasi
kegamangan dan kesedihan yang cukup menekan perasaan, karena dalam
kondisi yang jauh dari kesatuan induk, berada di lokasi yang sangat
terpencil dan terpisah dari kesatuan lainnya, harus mampu menegakkan
disiplin dan sekaligus memelihara semangat tempur dalam kondisi yang
serba terbatas, kalau tidak mau menyebut sebagai serba kekurangan.
Di
tempat ini kami sudah bertugas selama tiga bulan lebih, dan sebelumnya
bertugas di pulau Nunukan sejak Desember 1965. Saya tahu kalau saat
seperti ini khususnya menjelang 17 Agustus, anak buah tentu sedang
membayangkan upacara besar ini di Jakarta atau Surabaya. Tetapi
kesedihan ini tidak lama saya rasakan, karena kemudian Tuhan telah
mengubah dan memberi petunjuk, agar saya tidak larut dalam kebimbangan.
Kondisi seperti ini justru merupakan tantangan bagi seorang komandan,
agar menjadi tegar dan bagaimana seharusnya dapat memanfaatkan situasi
dan kondisi yang mencekam ini dapat diubah menjadi situasi yang
menyenangkan.
Dan
yang lebih penting, adalah bagaimana mengembalikan semangat anak buah
yang mulai melemah, karena jenuh dalam lingkungan hutan yang sepi, agar
mereka dapat bergairah lagi menghadapi kenyataan hidup, timbul kembali
semangatnya yang baru serta tetap tegar menghadapi kondisi saat itu.
Saya mempunyai keyakinan bahwa Tuhan telah memberikan petunjuk yang
cukup jelas, dengan menunjukkan cara - cara bagaimana membangun kembali
semangat tempur anggota marinir sebagai pasukan yang memiliki motto
“pantang mundur mati sudah ukur “.
Situasi
politik pada awal dan pertengahan tahun 1960-an dipenuhi udara panas
bagi bangsa dan pemerintah Indonesia, karena adanya gagasan pembentukan
negara federasi baru, Malaysia, yang merupakan gabungan antara Malaya
(Persekutuan Tanah Melayu) yang sudah merdeka sejak tahun 1957 dengan
Serawak, Brunei dan Sabah (Kalimantan Utara jajahan Inggris) Pemerintah
Indonesia merasakan adanya upaya sistematis untuk mengepung NKRI di
sebelah utara, sedangkan dari sebelah selatan sudah dijepit oleh
Australia dan Selandia Baru.
Bangsa
lndonesia merasakan adanya gerakan yang diprakarsai oleh Nekolim
(Neokolonialis), yang akan merugikan Indonesia sebagai negara yang
menganut politik bebas dan aktif dalam politik luar negerinya. Bersama
Filipina, Indonesia pada saat itu menentang berdirinya negara baru
Malaysia. Filipina mempunyai klaim terhadap Sabah. karena menurut data
yang dimilik pemerintah Filipina, Sabah pada masa lalu adalah wilayah
kerajaan Sulu, yang sekarang merupakan wilayah Filipina.
Itulah
mengapa kemudian timbul konfrontasi antara Indonesia disatu pihak,
menghadapi Malaya, Inggris yang dibantu Australia dan Selandia Baru
dipihak lain.
Dalam
rangka itulah telah dikirim masing-masing dua Brigade Pendarat Marinir
ke perbatasan Indonesia. Satu Brigade di Pulau Batam (Kepulauan Riau)
dan satu Brigade di Pulau Nunukan dan Sebatik (Kalimantan Timur).
Kiprah Kompi “X”
Makin
mendekati hari Kemerdekaan, saya pikir harus berbuat sesuatu yakni
dengan mencoba menggunakan momen ini untuk menggelorakan semangat
anggota yang sudah mulai lelah. Setelah tiga bulan di hutan, yakni bulan
Mei, Juni dan Juli 1965 semangat anggota kompi X makin menurun.
Maklum, tinggal dalam hutan yang sunyi dan benar-benar terisolasi baik
dari kesatuan induk (Batalyon dan Brigade) maupun terpisah dengan
penduduk setempat, memang terasa seperti memanggul beban yang sangat
sangat berat terutama dari segi mental.
Coba
anda rasakan setiap hari hanya memandang pohon - pohon yang tingginya
lebih 30 meter, semak yang sama, bahkan sinar matahari yang tidak
sepenuhnya mampu menembus rimbunnya dedaunan hutan, menciptakan
kesunyian, ketersendirian dan juga kelengangan yang setiap hari makin
memuncak. Udara selalu lembab. Tidak ada aroma lain kecuali bau daun
kering dan daun busuk apalagi pada malam hari, hanya dapat mendengar
suara beruang yang sedang berkelahi, suara monyet dan suara kepakan
sayap kelelawar besar, yang melintas diatas pepohonan, makin menekan
mental masing - masing prajurit.
Dipihak
lain kami tahu lawan gabungan pasukan Inggris - Malaysia hanya dua
bulan mampu bertahan di hutan seperti ini dan setiap dua bulan sudah
diganti dengan pasukan baru. Dari segi pengiriman logistik mereka lebih
teratur pula pengirimannya. Kami sering melihat pengiriman logistik
untuk pasukan Inggris di wilayah Sabah dilakukan melalui udara dengan
menggunakan parasut yang dijatuhkan ke tengah hutan di tempat mereka
bertugas. Kami, boro - boro dikirim, tetapi dibebankan pada kompi, yang
setiap bulan sekali harus mengambil sendiri ke Nunukan menggunakan
perahu bermesin tempel 40 PK. Karena itu, setiap bulan, secara bergilir,
ada anggota yang mendapat giliran ‘’cuti” ke Nunukan, sambil belanja
kebutuhan sehari - hari dengan uang lauk - pauk yang sangat terbatas.
Bagi yang mendapat giliran belanja ke Nunukan, rasanya seperti mendapat
kesempatan melihat dunia luar karena dapat bertemu dengan orang lain
termasuk penduduk.
Karena
itu, untuk mengurangi beban mental para anggota kompi X, mereka selama
di pedalaman ini berusaha menghibur diri dengan cara masing - masing
antara lain memanjangkan rambutnya. Setelah rambut panjang ada yang
berinisiatif untuk mengikat rambutnya dengan pita seperti layaknya gaya
rambut ekor kuda bagi remaja dan gadis - gadis di Surabaya.
Berbicara
sehari - hari pun harus pelan dan nyaris berbisik. Karena di tengah
hutan begini sangat dilarang berbicara dengan suara keras, kami menjadi
terbiasa berbicara dengan berbisik - bisik. Hiburan tidak ada sama
sekali. Radio tidak ada. Lain dengan kompi Brahma, kompi sukarelawan
gabungan marinir dan sipil lokal, setiap peleton Sukwan, mereka mendapat
radio Philips transistor. Karena itu saya sering menumpang dengar
berita melalui radio mereka. Sayang sekali untuk mendengar siaran RRI
sangat sulit. Yang paling mudah adalah mendengarkan radio Malaysia.
Tentu saja. isi beritanya sangat berlawanan.
Berita
konfrontasi, tentu menjelek-jelekkan aktivitas pasukan kita. Demikian
pula berita nasionalnya tentu membuat telinga kita bisa menjadi merah
karena isinya mesti menjelek - jelekkan pemerintah RI.
Yang
lucu, siaran radio masing - masing pemerintah dalam akhir pidato atau
peryataan resmi pemerintah, selau diakhiri dengan menyatakan: “Tuhan
beserta kita” Komentar para anggota yang mendengarkan: “Kasihan, Tuhan
bisa bingung kalau begini, habis masing-masing negara mau memonopoli
Tuhan. Terserah. Mau membela Indonesia atau Malaysia”, karena setiap
pemerintah, baik Indonesia maupun Malaysia ingin agar Tuhan hanya
membela negaranya.
Sampai
bulan Agustus, musim hujan masih terus berlangsung hampir tiap malam
turun hujan. Kadang-kadang hujan turun sangat lebat yang disertai angin
kencang. Kalau cuaca sudah begini, kami makin ngeri karena biasanya
kalau sudah ada angin begini banyak pohon tumbang akibat tanah yang
menjadi lembek, atau dahan yang patah, jatuh kebumi. Suaranya sampai
terdengar dari kejauhan.
Rasanya makin nglangut,
karena tidak ada yang dapat membantu kalau terjadi apa-apa. Inilah
risikonya terpisah dari induk pasukan Bila sudah begini yang dapat
dilakukan hanya berdoa. Tetapi dengan kekuatan doa kami, Tuhan rupanya
masih menaruh belas kasihan pada kompi X. Selama enam bulan, mulai Mei
sampai Oktober 1965 di tengah hutan dan terpisah dari masyarakat
manusia tidak ada satupun pohon maupun dahan yang jatuh di barak kami.
Bagi
saya selaku pimpinan. maupun anggota pada umumnya. hiburan
satu-satunya yang paling diharapkan adalah kedatangan surat dari
keluarga atau kawan - kawan dari Surabaya. Bagi saya yang mempunyai
kebiasaan membaca terutama sebelun tidur, sangat memerlukan bacaan, dan
bacaan yang saya dapat, baik kiriman dari Surabaya maupun yang saya
peroleh dari markas batalyon, sangatlah mengembirakan. Majalah apapun,
bagi saya merupakan hiburan yang sangat berarti, termasuk majalah
“Mangle” terbitan Bandung yang berbahasa Sunda.
Walaupun
saya tidak begitu paham bahasa ini, namun masih dapat mengerti isinya
secara umum, terutama karena jasa baik seorang anggota, ditolong oleh
salah seorang caraka, prajurit marinir Suhanda yang berasal dari
Purwakarta. Jadi kalau ada kata - kata yang saya tidak mengerti, saya
panggil Suhanda untuk menerjemahkan kalimat tertentu. Kadang-kadang
kalau lagi mujur, saya dapat memperoleh majalah bulanan “Intisari” dari
markas batalyon kalau kebetulan ada tamu yang datang dari Jakarta atau
Surabaya. Pada waktu malam, karena hutan yang gelap namun saya masih
berusaha membaca walaupun hanya dari sinar temaram, dengan penerangan
sebatang lilin.
Seminggu
menjelang tanggal 17 Agustus tahun 1965 saya minta para perwira dan
bintara yang ada untuk mengadakan pertemuan, dengan fokus pembicaraan
bagaimana caranya agar anggota kompi X dapat merayakan hari nasional
ini walaupun sedang berada di tengah hutan. Saya jelaskan tujuan
pertemuan dan tujuan perayaan, yakni pertama, memperingati hari
kemerdekaan sekaligus mengembalikan semangat perjuangan membela negara
dan bangsa. Akhirnya diputuskan untuk melaksanakan kegiatan sebagai
berikut : Pada tanggal 17 Agustus kompi harus mengadakan perayaan,
tetapi tetap harus waspada terhadap kemungkinan serangan mendadak
lawan. Pada hari itu, semua anggota harus berseragam lengkap
sebagaimana seragam tempur marinir termasuk menggunakan helm, yang
selama pasukan di tengah hutan tidak pernah lagi dikenakan.
Dua
pertiga pasukan melakukan upacara penaikan bendera, sedangkan
sepertiga tetap siap tempur menjaga lingkungan upacara. dan pos jaga
masing - masing seperti yang sudah ditentukan sebelumnya, mereka
bertanggungjawab bila ada pendadakan. Sebagai “lapangan upacara” dicari
tempat yang lapang dan rata, yakni dibawah sebatang pohon besar yang
rindang Semak belukar dibawah pohon dibersihkan dan daun-daun kering di
bawah pohon disapu bersih.
Di
tengah lapangan upacara didirikan sebatang kayu untuk pengibaran
bendera sang merah putih dengan tali batang rotan yang kecil tetapi
cukup kuat. Sekarang untuk pestanya, selelah upacara selesai, harus ada
suasana baru. Diputuskan, hari istimewa itu seluruh anggota akan makan
ketupat. Bahannya pembungkusnya (sarang ketupat) gampang ambil saja
daun nipah yang masih muda dianyam menjadi sarang ketupat. Sekarang,
apa yang pantas menjadi lauknya. Kami putuskan untuk mendapatkan daging
segar. Caranya, kami bentuk empat tim pemburu untuk mencari babi
hutan. Kebetulan pada bulan Juli – Agustus sedang musim buah terutama
cempedak hutan. Babi biasanya mudah ditemui pada musim buah ini.
Dua
hari menjelang tanggal 17, empat tim yang sudah ditunjuk berangkat
keempat penjuru untuk mencari dan menembak babi. Untuk sementara
larangan menembak dicabut. Dalam keadaan “normal” letusan senjata
berarti kontak dengan musuh, dan demi kerahasiaan, dilarang menembak
tanpa tujuan yang jelas.
Nasib
untung masih berpihak pada kami, pada sore hari ketika tim pemburu ini
kembali, mereka datang sambil memikul empat ekor babi hutan.
Sementara
itu pada tanggal 16 Agustus, untuk membuat musuh panik, saya
perintahkan seksi mortir 81 dikawal satu regu untuk menyerang pos musuh
dengan menggunakan mortir 81. Tentu sangat sulit untuk menembakkan
mortir di tengah hutan yang tertutup semacam hutan Siglayan ini. Harus
dapat menemukan lubang agar dapat menembak. Tetapi mereka tidak kurang
akal. Pada suatu medan yang agak terbuka, mereka berhasil menembakan
enam peluru mortir 81 dengan jarak sejauh mungkin, sekitar tiga setengah
kilometer. Setelah berhasil menernbakkan enam butir peluru secara
beruntun, pasukan kembali secepat mungkin agar tidak dapat dibaring dan
dibalas oleh musuh.
Menurut
data intel yang kemudian kami peroleh dari penduduk sipil yang
berhasil masuk ke Tawao, serangan ini berhasil mengenai sasaran dan
menewaskan satu orang. Rupanya, lawan juga sudah mengantisipasi
kemungkinan kami menyerang pada sekitar tanggal 17 Agustus ini. Tetapi
karena kami menyerang sehari sebelumnya, mereka panik, dan mengira kami
akan menyerang secara besar - besaran. Buktinya, tepat pada tanggal 17
musuh menembaki seluruh hutan itu dengan mortir selama satu hari penuh.
Kami hanya menyambut dengan santai. Tidak perlu dibalas, karena
tembakan mereka sangat tidak terarah. Maklum tembakan orang lagi panik.
Tanggal 17 Agustus pagi kami siap mengadakan upacara penaikan bendera.
Jam delapan, pasukan pengaman sudah menempati pos masing-masing.
Seluruh anggota berpakaian tempur lengkap.
Jam
sembilan kurang seperempat, pasukan upacara sudah siap di lapangan
upacara. Jam sembilan kurang lima menit saya selaku pemimpin upacara
memasuki lapangan upacara. Sersan Mayor Zaini, bintara peleton satu,
menjadi komandan upacaranya. Penaikan bendera dimulai dilakukan oleh
Kopral Adam dan seorang prajurit, diiringi lagu Indonesia Raya yang
dinyanyikan oleh seluruh peserta upacara. Tiba-tiba menjelang bendera
sampai kepuncak tiang, rotan tali bendera putus. Lagu kebangsaan
berjalan terus. Terpaksa tiang dicabut, bendera diikatkan di puncak
tiang, tancapkan lagi ditempat semula, Namun upacara tidak terganggu
oleh insiden ini, tetap khidmat Semua anggota merasakan suasana
anggunnya upacara memperingati hari kemerdekaan ini walaupun ada sedikit
gangguan putusnya tali bendera. (kepercayaan yang berkembang, bila
tali bendera putus pada waktu upacara, biasanya akan ada peristiwa yang
gawat, mendebarkan)
Dalam
pidato sebagai amanat inspektur upacara, saya mencoba memberikan
semangat dengan menjelaskan mengenai tugas kompi X maupun anggota Kompi
Brahma (satu peleton) sebagai prajurit yang sedang melaksanakan tugas
suci karena mengemban tugas negara walaupun sekarang sedang berada di
tengah hutan di perbatasan Kalimantan Utara, jauh dari Surabaya sebagai
“homebase” kompi X maupun pasukan induk, yang ada di Pulau Nunukan,
tetapi pasukan harus tetap tabah menghadapi situasi dan kondisi saat
ini. Jangan berfikir yang tidak-tidak seperti merasa dibuang dan
seterusnya. Kita adalah ksatria yang pantang menyerah.
Saya
perhatikan reaksi para prajurit, mereka rupanya mendengarkan apa yang
saya sampaikan dengan serius. Saya merasa puas. Selesai upacara
diadakan perlombaan lari karung jarak duapuluh meter, diteruskan lempar
gelang rotan. Hadiahnya korned dan abon. Suasana cukup meriah.
Setidaknya sejenak melupakan situasi tegang selama ini. Selesai
perlombaan, semua menikmati makan ketupat dengan lauk daging babi bagi
yang mau, sementara yang tidak mau makan dengan lauk sarden dan “corned
beef” kalengan. Semua masakan sudah dimasak semalam jadi sekarang sudah
dingin. Karena selama barada ditengah hutan, dilarang keras masak pada
siang hari. Namun demikian, suasananya sungguh berbeda. Ada
kegembiraan yang dalam beberapa hari sebelumnya sudah sirna.
Menjelang
tanggal 31 Agustus 1965, datang peringatan dari batalyon melalui radio
GRC-9, mengingatkan hari kemerdekaan Malaysia yang akan jatuh pada
tanggal 31Agustus 1965, supaya kompi yang ada di Siglayan waspada.
Sebenarnya peringatan itu tidak begitu perlu. Kami sudah siap
menghadapi mereka kalau memang berani datang menyerang. Pedoman Marinir
“pantang mundur”, terus bergema dibenak masing-masing anggota.
Pertempuran di dalam hutan berarti pertempuran jarak sangat dekat.
Ternyata tanggal 30 dan tanggal 31 Agustus tidak ada kegiatan lawan.
Kami agak mengendorkan kesiagaan.
Tanggal
1 September 1965 sekitar jam sembilan pagi secara tak terduga kami
diserang dengan rentetan tembakan senjata ringan secara serentak. Dari
arah depan kiri. Karena terkejut, ada anggota di lapis depan yang
langsung panik dan saya mendengar ada yang mengatakan : “mundur…”. Saya
segera maju, kupertahanan peleton dua untuk mencari sumber tembakan.
Beberapa anggota sudah ada yang bergerak mundur saya segera bertindak.
Sambil membentak ‘tetap ditempat” diiringi suara kepala regu satu pleton
satu, Sersan Suprapto dibelakang saya “Dengarkan suara tembakan, dari
mana arahnya”. Teriakan ini membuat pasukan menjadi tenang kembali.
Semua siap menghadapi kemungkinan serangan lanjutan.
Semua
segera tiarap dengan memegang senjata masing-masing. Dalam situasi
menunggu, saya perintahkan mencari awak mortir 81 untuk segera masuk
seteling. Ternyata mereka tidak ditempat. Kemarin, memang ada
pergantian awak mortir, Karena itu, mereka empat orang dipimpin seorang
kopral sedang mencari kayu untuk mendirikan baraknya. Tidak lama
kemudian mereka muncul sambil terengah - engah “Siapkan mortir siap
menembak” Saya perintahkan segera. Karena mereka hanya ada empat orang
dan harus melayani dua pucuk mortir, mereka gugup dan kewalahan. Saya
perintahkan anggota yang berdekatan, kopral Adri Waroka dan prajurit
lainnya untuk membantu menyiapkan peluru mortir.
Tidak
lama kemudian terdengar bunyi peluru meriam mendekat.
Ses-ses-ses……….Dan disusul bunyi ledakan di sebelah kiri petak
pertahanan. Untung peluru pertama musuh jatuh sekitar 500 meter
disamping kami, tidak mengenai seorangpun. Bau mesiu makin merangsang
semangat tempur kami. Kini kami benar-benar sudah siap untuk bertempur.
Segera
terjadilah saling tembak yang kurang seimbang. Musuh menggunakan
artileri, jarak tembaknya bisa lebih jauh dan tembakan mortir karena
kami hanya menggunakan dua pucuk mortir.
Saya
minta satu pucuk menembak dengan jarak maksimal dengan isian penuh,
satu pucuk melindungi pasukan kawan di seberang sungai, disana ada dua
regu yang menembaki pos di seberang sungai, setiap regu terpisah satu
di sebelah kiri depan kompi, satu lagi regu yang menjaga “Pos Tanah
Merah’’. Pos inilah yang mendapat serangan pertama. Rupanya musuh masih
mempunyai data awal, yaitu terbukti hanya menembaki barak yang pertama
dibuat yang lokasinya lebih ke hulu sungai, persis di belokan
Siglayan, tempat para gerilyawan memasuki Sabah pada tahun 1963. Sedang
kedudukan kami sekarang sudah mundur lebih 500 meter lebih ke belakang.
Pos
pertama ini sudah beberapa kali mendapat kiriman peluru meriam musuh.
Karena itu, tembakan musuh jatuh di samping kiri depan kedudukan kami
atau jatuh di depan kami di rawa - rawa, jadilah hari itu tembak
menembak sampai berhenti total jam empat sore. Hanya menjelang peluru
meriam akan jatuh ke tanah, kecepatan peluru sudah lemah dan
mengeluarkan bunyi ses… ses… ses, kami harus waspada. Itu artinya peluru
sudah hampir tiba. Semoga tidak jatuh di daerah posisi sekarang.
Menghadapi
ulah peluru demikian, hati menjadi ciut, karena tidak tahu dimana
peluru itu akan kehabisan tenaganya. Dan kami hanya bisa berdoa Tuhan,
lindungi kami. Yang jelas, bagi pasukan yang pernah mendapat serangan
meriam seperti ini, kalau dia selamat, akan menjadi kenang - kenangan
yang indah dalam hidupnya. Sementara itu, musuh mengirimkan pelurunya
secara terus - menerus dan lebih cepat. Mungkin mereka menembak dengan
enam pucuk meriam sedang kami hanya memiliki dua pucuk mortir 81.
Itupun masih kami anggap untung, karena sebelumnya kami hanya memiliki
AK dan RPD saja.
Dengan
adanya tembakan balasan dari kami, musuh akhirnya lari terbirit-birit,
tidak jadi mengadakan serangan jarak dekat. Ketika besok paginya saya
mengadakan patroli pengejaran mulai di sekitar pos Tanah Merah, sesuai
jejak yang kami temukan, ternyata pada kemarin malamnya, musuh bermalam
tidak jauh dari pos Tanah Merah, sekitar 500 meter, di seberang
lembah. Rupanya musuh tidak tahu, ada satu regu menduduki medan di
depan mereka.
Setelah
pertempuran selesai, saya cek jumlah anggota, ada dua anggota hilang.
Saya bersama yang lain terus mencari mungkin mereka terluka atau gugur.
Untung sebelum gelap, dua prajurit ini muncul dan segera memeluk saya.
Karena girangnya rupanya begitu musuh membrondong mereka, mereka
sempat loncat ke tebing di atas sungai Siglayan dan kebetulan di sana
ada sebuah lubang mirip gua, sehingga kedua prajurit ini dapat
bersembunyi dengan aman dan mereka tak dapat diketemukan musuh yang
berada di atasnya. Melihat bekas tembakan serentak musuh, lokasi di mana
terjadi tembak - menembak, semak belukarnya sudah rata seperti dibabat
dengan parang.
Karena
itu saya menduga, dua orang ini sudah gugur atau tertangkap musuh.
Ternyata keduanya selamat, tak ada sehelai bulunya yang tanggal. Dasar
nyawanya masih betah tinggal di tubuhnya, dan rupanya belum mau pindah
ke akhirat.